CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH BAHENOL MENJUAL DIRI

CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH BAHENOL MENJUAL DIRI


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH BAHENOL MENJUAL DIRI,  Hasrat-Bispak26 Semuanya orang didalamnya perlu berusaha dan berkorban agar tidak tersisih, dan tidak semuanya jalan yang dapat dilintasi itu terang-benderang…Izinkan saya ceritakan kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang tidak banyak yang kenal nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, namun berarti tidak hanya itu. Denok  bermakna montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Periode kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu satunya Bapak serta Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Sejak mulai kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliau sendiri waktu muda ialah seorang penari, dan kerap ditanggap bila ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti di saat satu hari saya dan Simbok temui Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak mempunyai banyak hutang dikarenakan edan judi, dan beliau tidak bisa membayar hutangnya itu. Kami terang sendu lantaran Bapak tidak ada, tetapi juga kebingungan sebab sekian hari selesai Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah lantaran rumah kami diambil alih biro judi yang memberikan hutang terhadap Bapak. Kami gak mempunyai lokasi tujuan, serta uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, semoga di situ mendingan dibanding di sini," kata Simbok.


Saya hanya alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima karena dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak penting ijazah, tandingan banyak. Pada akhirnya sesudah cukuplah lama menyimak bermacam peluang yang ada, Simbok memastikan untuk manfaatkan ketrampilan kami. Dengan modal busana serta perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang persiapan ujian akhir SMA atau melalui tahun mula kuliah, serta yang di dusun menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan anyar, menjual keterampilan seni tari bersama Simbok. Awalannya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, cuman cari keramaian di mana kami dapat peroleh beberapa lembar rupiah buat bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mendalami jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang pengen kami hibur dengan tarian kami. Rupanya tidak enteng pula cari uang melalui langkah semacam ini, paling-paling yang kami peroleh cukup hanya untuk makan kami berdua, satu atau kedua kalinya dalam hari itu. Serta tidak di seluruhnya tempat kami dapat mendapatkan pemirsa yang siap bayar, kadangkala kami justru ditendang atau dihardik. Seusai lumayan lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pemirsa serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar sewaan murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, dari kelompok menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membuat mereka ingat daerah semasing. Hadirnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Meski sering helai-lembar itu dikasih ke kami oleh kurang santun umpamanya dengan diumpetkan ke baju kami. Apa saya dan Simbok benar-benar menarik? Entahlah ya. Saya sendiri tidak terasa elok. Sebagai anak petani yang kerap main di luar mulai sejak kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Namun Simbok  sejak dulu terus membimbing dan mengingati saya untuk menjaga badan meskipun dengan simpel, jadi meskipun sawo masak, kulit saya selalu mulus dan tak jerawatan manalagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul pun sich kalaupun disebut saya montok. Tidak tahu mengapa, walau rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap juga tubuh saya bisa saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya udah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur hingga saya selalu cemas dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya  cepat lantaran dibuat latihan olah badan dalam tarian. Ada yang katakan bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang kira demikian. Bertanya-tanyanya, walaupun atas bawah besar, tengahnya tidak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya bakal jadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, kalaupun Simbok itu benar-benar elok. Sampai usia begitu juga beliau masih elok. cerpensex.com Ditambah lagi apabila sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Seluruh orang nengok dan tidak tonton apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa buruk lho bila tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia cuman saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum menonton kami menari kok seluruhnya katakan saya elok. Saya pikirkan, ini mah pinter-pinternya Simbok menghias saya saja. Waktu pertamanya didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet sangat. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, sampai berbeda warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat makin tebal. Bibir pun diberi gincu warna merah oke. Saya kala itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu gak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita perlu membuat suka yang melihat."


Lambat-laun saya biasa pun pakai dandanan begitu, justru saya menjadikan guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari tercipta penganten, sesaat bila nikah betulan harus kayak apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun memanglah yang bernama nasib itu jalannya tidak ada yang mengetahui. 2 bulan kami ada di dekat Pasar, malapetaka hadir kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kronis. Saya was-was, beberapa orang disekitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok tidak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit sesudah 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sesungguhnya semenjak ketabrak  Simbok sudah tidak ada asa, tetapi tidak tahu mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya hingga sampai sepanjang hari. Sampai gak sampai hati saya memandangnya. Saat itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, sebab itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Tetapi apa itu betul atau tidak, saya tak ingin tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit dan penguburan, malahan perlu berutang kemanapun. Saya tidak bisa menggelar acara beberapa macam buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana dan berjumpa kembali dengan Bapak. Satu minggu lebih saya di sewa saja karena terlampau bersedih. Barangkali setiap hari saya menangis, bersedih ingat Simbok, pula kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, karena uang telah habis dan saya  harus temui beberapa tukang tagih hutang yang tak ingin tahu kesusahan saya . Sehingga, 1 minggu setelah Simbok dikebumikan, saya kembali bersiap buat keluar, menari. Didepan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya agar tidak terlihat beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, serasi keluar kamar saya malahan berjumpa dengan ibu yang mempunyai kontrak. Sang ibu tidak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak punyai uang, jadi saya sekedar dapat omong maaf, serta sang ibu jadi ngancam secara lembut. Tidak apapun tidak bayar, ujarnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya halangan untuk saya. Saya pengin usaha dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH BAHENOL MENJUAL DIRI


Apesnya, hari itu pasar rada sepi, serta selepas dua jam saya baru bisa Rp5000 sehabis menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala sarat dengan ingatan, bagaimana metodenya biar kelak bila pulang telah memiliki cukup uang buat bayar kontrak. Belum beberapa hutang yang lain. Mendekati siang, saya sedang jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya memandang Juragan tengah hitung segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu hanya mengenal beliau sebagai ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua dibanding Simbok, barangkali umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis serta jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberikan kami uang tetapi beliau tidak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri hampiri Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot dalam dan berada di belakang. Tokonya lagi sepi, tidak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya harus katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis buat ongkos penguburan Simbok… saat ini saya perlu bayar kontrak dua bulan…"


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu perlu uang?"


"Tolong, Juragan," saya mengharap kembali, "Saya udah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan selekas mungkin." WAJIB 4D


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang tadi ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu penting uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini  kembali kerja, Juragan," saya dongkol namun tidak berani menunjukkan; kelihatannya Juragan tidak pingin pinjamkan uang. "Hanya seramnya saya tidak dapat cukup dapat uang ini hari untuk membayar sewaan. Bila berjualan, saya nggak punyai apapun, perlu jual apa?"


Tetapi selanjutnya tatapan Juragan kok berganti menjadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu tidak punyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengayalkan apa tujuannya itu.


"Bila kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya butuh uang, namun apa perlu melalui langkah sebagai berikut? Tetapi bila gak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama dengan. Saya tidak miliki alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali sampai gak terdengaran. Jika saja gak ketutupan bedak, barangkali udah tampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak mempunyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya terus melihati lantai, tak berani membawa kepala, namun terkadang saya ngintip ke sana-kemari menyaksikan kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang tunjukkan Juragan dengan seorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruang tidurnya. Ia suruh saya duduk di tempat tidur. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mempelajari sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Kemungkinan ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ujarnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tidak sempat mendapat uang sejumlah itu. Namun saya masih sangsi. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Bila tak mau ya udah," tukasnya dengan suara kurang puas.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Sesuai tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum memandang saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar sehabis bicara itu. sumpah, baru ini kali ada lelaki terbuka ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu tadi diletakkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia imbuhkan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tukasnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awal mulanya saya dan Simbok perlu menari sepanjang hari, hingga sampai pegal-pegal, buat memperoleh duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh uang sekitar itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka seluruhnya," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa artinya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang katakan itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben yang ditahan tangan saya, dan kainnya melesat demikian saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya dapat memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan memohon saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Kemungkinan sebab barusan saya malu serta lamban satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya dan membuka kain batik saya. Saya tiba-tiba mundur, tetapi tangan Juragan terus menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" tuturnya.


Juragan pun menggenggam paha saya masih yang sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu lantaran sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bergesekan dengan kulit paha saya, serta saya semakin deg-degan. Ia selalu remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya selalu nyibak kain saya, sampai ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga sampai paha saya udah dikeluarkan dari buntelnya, sedikit kembali kancut saya tampak!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya terus nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa mestinya saya lepas pula?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sembari saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, namun gak tahu mengapa, saya pun kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok seperti ini jadi? Juragan tiada henti menyaksikan sekujur badan saya, sembari memberi pujian.


"Mari donk, tidak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, bila kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya nampak.


"Euh… Juragan… pengin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama